BOGOR – Orang-orang Arab atau Timur Tengah sangat senang ke Puncak Bogor, bahkan menyebutnya bagaikan sepotong surga di dunia. Belakangan kehadiran orang Arab di Puncak membentuk sebuah kampung. Dulunya, namanya kampung Sampay lalu berubah menjadi kampung Arab.
Geliat kehidupan orang-orang Arab di Kampung Sampay ditandai dengan berdirinya plang yang menjadi penanda toko atau bangunan tertentu ditulis dengan menggunakan huruf Arab.
Suasana Arab begitu kentara ketika melintasi Jalan Jakarta-Puncak di Kilometer 84. Warga sekitar juga menyebut Kampung Arab dengan nama Warung Kaleng karena awalnya warung-warung yang didirikan pedagang China hampir semuanya beratapkan seng atau kaleng.
Walaupun saat ini kondisinya berubah tidak ada lagi bernuansa China dan seluruh warung sudah beratap genteng. Kini,
suasananya justru berubah menjadi kearab-araban. Turis asal Timur Tengah seperti Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, dan Qatar memang mengidolakan Kampung Sampay sebagai salah satu destinasi wisata populer di Tanah Air.
Alasannya, mereka sangat menikmati bentang alam yang hijau dan hawa sejuk di kawasan Puncak. Ditambah lagi, orang Arab memiliki pemahaman religius bahwa surga adalah sesuatu yang hijau, subur, dan terdapat sungai mengalir di bawahnya.
Keberadaan orang-orang Arab ini mendapat sambutan hangat dari warga setempat yang menyediakan berbagai fasilitas. Selain penginapan, tersedia pula berbagai toko, money changer, restoran, serta sarana hiburan lainnya yang bernuansa Arab.
Ironisnya, imbas dari keberadaan orang Arab di Kampung Sampay munculnya praktik kawin kontrak. Orang Arab dikenal sering melakukan kawin kontrak dengan gadis lokal untuk jangka waktu 1-3 bulan.
Dalam masa kawin kontrak itu, seorang perempuan mendapatkan bayaran mencapai Rp 30 juta-Rp 50 juta. Praktik kawin kontrak ini biasanya dilakukan secara terselubung di vila.
Bahkan hingga saat ini masih banyak wanita – wanita di kampung tersebut menyandang status janda akibat perkawinan kontrak yang di lakukan sudah selesai.
Dampak terburuk dari hasil kawin kontrak itu, mereka yang mempunyai keturunan dari hal itu harus menanggung beban hidup anak – anaknya, mereka terkadang rela bekerja siang malam demi memenuhi kebutuhan sehari – harinya.
Yang lebih memprihatinkan lagi, ada yang rela melakukan hal apa saja, bahkan rela menjadi seorang perempuan panggilan (PSK ) agar mendapatkan uang untuk menyambung hidup, hal itupun dilakukan dengan cara sembunyi – sembunyi.
Dengan motif mendapat keuntungan yang menggiurkan tak sedikit warga lokal yang mendukung aktivitas tersebut.
(andre)***
Tidak ada komentar