JIWA BUDAYA DALAM SASTRA MINANG

Red– Memaknai Sastra Minang, tidaklah hanya ditelusuri dari arti kata secara lahiriahnya saja, tetapi sudah menjadi ketetapan adat, untuk membaca, menganalisa, dan menghayati makna, baik secara tersurat mau pun tersirat. Bahkan menurut Yusriwal , dimungkinkan untuk mene lusurinya sampai kepada tataran makna simbolis terhadap hal-hal yang tersuruk dalam upaya mencari hakikat kedalaman makna yang sebenarnya. Kaidah-kaidah sastra Minang, seakan-akan terpendam menghunjam bagai akar tunggang yang kokoh mendasari kekuatan rasa (raso) dan pemikiran (pareso) serta penghayatan (piraso).
Terasa ada jarak untuk dipahami dan di jamah secara praktis, kecuali hanya sekedar mendekati tunggul tunggul yang telah keropos, atau memilah-milah silaro yang jatuh berguguran. Sehingga tidak heran, banyak kalangan menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak logis, indak tamakan di aka.
Pada hal dasar falsafah Minangkabau berlandaskan hukum-hukum logika dan dialektika dalam kebudayaannya, yang mengandalkan Alam Takambang Jadikan Guru. Namun, karena kecenderungan laku budaya masyarakat Minangkabau dalam berkomunikasi pada zamannya, tidaklah memakai bahasa terus terang, lugas atau gamblang seperti apa adanya, tetapi memakai “kilek bayang”. Menjadikan wilayah dan wawasan sastra tradisi terlihat sempit akibat tidak dipahaminya lagi sistem berfikir dan cara pandang tradisi itu sendiri.
Kilek bayang atau kieh merupakan kiek tersendiri dan khas dalam buek-tannya, memiliki kemampuan berkomunikasi dengan memperguna kan perbendaharaan ungkapan-ungkapan yang ambi guitik, alegorik, metaforik, figuratif, dan lain – lainnya, sebagai kekuatan yang mampu memancarkan daya imajinasi si pembicara. Dan itu semua merupakan hasil kekuatan imajinasi kreatif yang telah mentradisi dalam pola budaya Minangkabau. Sampai sekarang diwarisi sebagai sesuatu yang bernilai sastra tradisi.
Menurut A.A. Navis (1986), Kieh terdiri dari pepatah, peribahasa, mamang, pituah, pameo, dan petitih. Penamaan bagian-bagian tersebut didasarkan atas bentuk, makna, dan fungsinya. Berdasarkan bentuk kieh disebut sebagai pepatah dan pribahasa; berdasarkan makna, kieh disebut sebagai mamang, bidal,pituah, dan pameo ; dan berdasarkan fungsi, kieh disebut sebagai petitih.
Apabila kilek bayang yang disampaikan dalam kieh tersebut dipahami dan dihayati secara baik dan benar menurut kaidah-kaidah sastra tradisi itu sendiri dan dengan sistim berfikir Alam Minangkabau, ternyata berbagai hasil proses imajinasi kreatif dalam perenungan dan pemikirannya akan dapat memberikan jawaban yang akurat terhadap berbagai tantangan zaman, atau dapat diharapkan sebagai solusi alternatif terhadap hal-hal yang menyangkut masalah-masalah kontemporer. Tidak malah terjebak kepada perangkap kenaifan penafsiran yang sempit.
Inti kekuatan daya tarik Budaya Alam Minangkabau, hanya dapat ditelusuri lewat pesan-pesan yang tertuang dalam karya-karya sastra tradisi Minangkabau itu sendiri, yang berabad-abad lamanya mampu bertahan hidup bahkan sampai sekarang ini. Itu berarti berbagai karya sastranya telah teruji dan diuji lewat perjalanan zaman yang panjang. Sehingga dapat hidup dan menghidupi berbagai media pendidikan dan untuk berkomu nikasi ditengah -tengah masyarakatnya.
Kekayaan nilai-nilai Sastra tradisi tersebut, telah mengisi jiwa masyarakatnya. Jiwa Budaya, yang telah tertanam dalam, kemudian tumbuh subur bagaikan sebatang pohon kayu gadang yang rindang di tengah padang menaungi cakrawala, merefleksikan daun daun imajinasi kehidupan Budaya Alam Minangkabau itu sendiri yang unik dan khas.
Setiap manusia membawa beban amanah “pasan pitaruah misi Tuhan” yang harus dipertanggung jawabkannya di akhirat kelak. Oleh karena pasan pitaruah itu tersimpan dalam kerahasiaan “makna budaya”, adat istiadat, dari etnis-etnis yang bersangkutan, maka tentulah nilai-nilainya dapat dijabarkan dan dipahami lewat sarana-sarana yang sesuai pula untuk itu.
Khusus saat ini, dalam menghadapi era baru, zaman informasi, komu nikasi, dan sistematisasi modern dan canggih, maka perlu sekali setiap produk seni budaya dari kelompok kelompok etnis Melayu Nusantara khususnya Melayu Minangkabau dilihat lebih dalam dan ditelaah secara filosofis sesuai dengan lingkungan Adat yang menaunginya di masa lalu.

Tak kenal maka tak tahu,
tak tahu maka tak minat
tak minat maka tak sayang
tak sayang maka tak cinta,
tak cinta maka tak mewarisi..(10)

Jiwa Budaya tak dapat dilihat dari sifat atau ciri penampilan luar suatu etnik, tetapi harus mampu menangkap, membaca, dan menyelami hakikat nya atau rohaninya. Bagaimana adat istiadat mereka, mengapa ada yang hilang, tetapi sebaliknya ada yang masih terpelihara untuk diteruskan. Dan sejauh mana pula adat istiadat itu bisa diterima oleh etnik etnik lain secara universal sejagat. Inilah yang mewarnai kehidupan etnik-etnik Melayu Nusantara, keragaman adat istiadat menyatu dalam kesatuan,kebersamaan, dan kesetiakawanan dalam dinamika hidup berbudaya.
Oleh karena tak satupun bangsa-bangsa di bumi ini, apakah etnis, suku, kaum, bahkan diri sendiri yang dapat dipersatukan tanpa rujukan nilai-nilai budi bahasa (budi baiek, ba(ha)so katuju), seni adat dan budaya yang jelas dan terarah menuju masa depan yang cerah.
Karena nilai-nilai luhur adat, seni dan budaya bersama nilai – nilai pekerti mulia dan budi bahasa terpuji itu akan menjadi dan merupakan buhul tali silaturrahmi yang mengikat erat aspek aspek kehidupan mereka. Ikatan itu berada, hanya dalam dua Simpul :
1. Simpul yang berbuhul sintak, berupa ikatan nilai-nilai Tamaduni sasi, nilai-nilai Adat.
2. Simpul yang berbuhul mati, berupa ikatan nilai-nilai syarak, agama Islam.
Oleh karena itu untuk membangkitkan kesadaran dan menumbuhkan benih-benih nilai-nilai budaya itu, haruslah di mulai dari diri sendiri sebagai pelakunya, dan kemudian menyebar serta berkembang tiada batas. Diri pelaku yang memiliki kesadaran jiwa akan arti penting penumbuhan nilai-nilai budaya itulah yang mewarisi Jiwa Budaya. Dan itu, harus ter cermin dari prilaku luarnya.
Dalam dunia tindakan manusia, prilaku luar dapat beraneka ragam, tergantung jiwa, keadaan batin yang mengendalikan diri seseorang. Bila keadaan batin jiwa seseorang dikendalikan oleh nafsu-nafsu negatif, jahat, destruktif, maka yang selalu muncul adalah refleksi kecongkakan keing karan, dan keserakahan, dendam dan permusuhan.
Diri yang bingung dan mengembara tanpa tujuan adalah korban ketegangan ketegangan yang muncul dan jiwa-jiwa yang menggugat melawan nafsu jahat. Berbagai pergolakan pemikiran, sikap, tindak, laku dan perbuatan akan muncul sesuai dengan kadar dan ukur jangka wawasan pikirannya sendiri, yang didorong oleh keinginan-keinginannya yang nyata atau terselubung.
Tetapi bila keadaan batin jiwa seseorang dikendalikan oleh nafsu-nafsu baik dan tenang, maka diharapkan jiwa inilah yang terpanggil untuk berkreatifitas dengan berbagai kebajikan mulia dan terpuji, indah dan menawan. Pemerian cahaya hanya akan jatuh pada jiwa-jiwa yang beriman.
Dari hal-hal yang demikian, maka manusia diharuskan berusaha mengekang, menundukkan dan mengendalikan nafsu-nafsu dirinya, untuk tidak berbuat semena-mena. Mereka harus dipaksa untuk melatih dan menguasai diri melawan nafsunya sendiri yang jahat. Pergolakan pemikiran dan perasaan terjadi dalam dirinya sendiri, dan itu akan tampak dan berdampak kepada kehidupan yang dilaluinya sendiri.
Tujuan pengendalian diri tidak lain agar dapat menangkis berbagai hantaman global bebas etik yang datang baik dari dalam maupun dari luar dirinya sendiri, dan mampu mengatur tata laku kehidupan yang baik, dengan adat makruf. Hidup berdampingan secara damai dan tidak saling bermusuhan atau merusak. Ketentuan ini di Minangkabau diakui dan dipatuhi sebagai peraturan-peraturan bersama yang dijunjung tinggi, dihormati dan dikendalikan oleh berbagai nilai aturan Adat yang disebut Undang Dan Hukum Adat Alam Minangkabau, disingkat U-HAAM.

Tuanku Mudo
H.Emral Djamal Dt. Rajo Mudo.

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *